Belum selesai dengan SARS-CoV-2, negara Cina kembali dihebohkan dengan kemunculan penyakit brucellosis yang menyerang ribuan warga Lanzhou, ibu kota Provinsi Gansu. Komisi setempat memastikan ada 3.245 orang yang terjangkit penyakit brucellosis dan telah menguji 21.847 warga. Menurut keterangan pihak berwenang, hal tersebut diakibatkan oleh bakteri karena adanya kebocoran pabrik biofarmasi yang memproduksi vaksin brucellosis. Kebocoran tersebut dikarenakan perusahaan menggunakan desinfektan dan pembersih yang kadaluarsa. Gas limbah yang terkontaminasi membentuk aerosol yang mengandung bakteri dan bocor ke udara. Bakteri ini kemudian terbawa angin ke Institut Penelitian Hewan Lanzhou, tempat wabah pertama kali melanda.
Brucellosis merupakan penyakit infeksius dan bersifat zoonosis, yakni penyakit pada hewan yang dapat menginfeksi manusia. Pada manusia penyakit ini dikenal dengan nama Malta fever, Mediterranean fever, dan Gilbaltar fever. The WHO laboratory biosafety manual mengklasifikasikan Brucella masuk dalama Risk group III. Penyakit ini terutama terjadi pada sapi, kerbau, babi, kambing, domba, dan anjing. Di Indonesia sendiri, brucellosis termasuk salah satu penyakit yang mendapat perhatian cukup serius oleh pemerintah berkaitan dengan kerugian ekonomi yang cukup tinggi diakibatkan penurunan produktivitas hewan dan manusia.
Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella sp.. Bakteri ini diklasifikasikan dalam
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Alphaproteobacteria
Ordo : Rhizobiales
Famili : Brucellaceae
Genus : Brucella
Species : B. abortus, B. melitensis, B. ovis, B. suis, dll.
Brucella memiliki beberapa faktor virulensi potensial yang terlibat dalam proses replikasi dan pertahanan terhadap sistem imunitas. Salah satunya adalah gen vir B yang mengkode type IV secretion system proteins (T4SS) yang berperan dalam replikasi bakteri. Terdapat pula gen ure 1 yang berperan dalam pertumbuhan optimal, aktivitas urease, dan resistensi terhadap pH rendah.
Brucela spp. bersifat Gram-negatif, memiliki bentuk cocobacilli, non motil, tidak membentuk spora, tidak memiliki flagella, dan bersifat aerobic fakultatif. Bakteri ini mampu hidup dalam sel fagosit dimana dapat menghambat fusi fagosom dan lisosom. Di dalam sel fagosit pula bakteri memproduksi adenine dan guanine monofosfat yang mampu menekan myeloperoxidase-H2O2-halide system dan cu-zn superoxide dismutase, sehingga tidak terbentuk reactive oxygen intermediate (ROI) sebagai sistem antibakterial.
Brucellosis menyebar dengan cepat dan menyebabkan aborsi pada sapi yang tidak divaksinasi dan bersifat endemik. Penyebaran alami terjadi melalui ingesti bakteri. Bakteri ditemukan dalam jumlah besar pada fetus yang aborsi, membran fetal, dan leleran uterin. Transmisi mungkin terjadi pada saat inseminasi buatan ketika semen terkontaminasi brucella didepositkan dalam uterus. Pada manusia, transmisi biasanya melalui kontak langsung dengan material yang terkontaminasi bakteri atau secara tidak langsung melalui ingesti produk makanan dan per inhalasi. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Gejala klinis brucellosis pada sapi tergantung pada umur, jumlah kuman, dan tingkat virulensinya. Gejala yang paling jelas pada brucellosis sapi betina adalah keguguran pada bulan kebuntingan kelima hingga kedelapan. Sementara pada sapi jantan dapat menyebabkan peradangan testis atau orchitis. Sedangkan infeksi Brucella sp. pada manusia tidak menyebabkan keguguran tetapi hanya menimbulkan gejala klinis antara lain: demam intermitten, sakit kepala, myalgia, malaise, nyeri, dan gangguan pencernaan.
Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan secara serologis dan dengan isolasi bakteri. Uji serologi dapat dilakukan dengan Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixation Test (CFT), atau ELISA. Pengujian pada sekelompok sapi perah dapat dilakukan dengan uji Milk Ring Test (MRT). Isolasi bakteri dapat dilakukan menggunakan spesimen yang diambil dari organ janin yang keguguran, plasenta induk, leleran vagina, dan susu yang dihasilkan. Pada sapi jantan, bakteri dapat diisolasi dari spermanya.
Pencegahan dilakukan dengan melakukan isolasi terlebih dahulu sebelum dimasukkan dalam kawanan. Vaksinasi juga telah terbukti efektif dalam mencegah brucellosis pada sapi. Vaksinasi menggunakan B. abortus strain 19 atau RB 51 dapat meningkatkan kekebalan terhadap infeksi. Sedangkan untuk pengobatan dapat menggunakan kombinasi antibiotika antara doksisiklin dan rifampin atau aminoglikosida.
Mengingat tingginya potensi kerugian yang dapat timbul akibat brucelliosis, maka perlu sinergi dari semua pihak untuk bersama-sama mensukseskan pemberantasan penyakit ini. Namun, di Indonesia kasus brucellosis belum banyak terdeteksi, dikarenakan kurangnya publikasi brucellosis sebagai penyakit zoonosis yang menyebabkan masyarakat belum banyak mengetahui jika brucellosis dapat menular ke manusia, sehingga perlu peran dari pihak kesehatan hewan, termasuk mahasiswa, untuk memberikan edukasi menyeluruh kepada mesyarakat, terutama peternak.
Referensi :
Direktorat Kesehatan Hewan. 2019. Brucellosis-Status dan Situasi. http://keswan.ditjenpkh.pertanian.go.id/?page_id=2464 (Diakses pada 30 Nov 2020)
Murwani, S., Qosimah, D., dan Amri, I. A. 2017. Penyakit Bakterial pada Ternak Hewan Besar dan Unggas. Malang: UB Press
Novita, R. 2013. Perencanaan Surveilans Brucellosis pada Manusia di Jawa Barat dengan Menggunakan Metode Geographical Information System (GIS). Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.3.1.2014:1-10
Putri, G. S. 2020. Belum Usai Corona, Ribuan Warga China Terinfeksi Penyakit Brucellosis. https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/20/130200323/belum-usai-corona-ribuan- warga-china-terinfeksi-penyakit-brucellosis?page=all (Diakses pada 30 November, 2020)
Syarif, E. K., dan Harianto, B. 2011. Buku Pintar Beternak & Bisnis Sapi Perah. Jakarta: PT Agro Media Pustaka
0 Comments