Studi menyebutkan jika kegiatan pertanian dan peternakan menjadi salah satu penghasil emisi karbon yang cukup besar. Sektor pertanian mampu menghasilkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas produksi pertanian, termasuk pengolahan tanah, pemupukan, pemanenan dan transportasi hasil panen, serta tanah erosi (Teague, 2016). Sementara menurut laporan Fourth Assesment Report (AR4) dalam IPCC 2006, gas metana (CH4) yang dihasilkan sektor peternakan berpotensi menyebabkan pemanasan global sebesar 25 kali emisi gas CO2 ekuivalen (Widiawati dalam Handriyono dkk, 2019). Gas ini dihasilkan setiap kali ternak mengalami proses metanogenesis pada saat fermentasi enterik dan proses kombinasi nitrifikasi dan ditrifikasi nitrogen dari kotoran selama penyimpanan pada saat pengelolaan kotoran (Handriyono dkk, 2019). Akibatnya, beberapa ilmuwan menyarankan bahwa pengurangan jumlah ruminansia global akan memberikan kontribusi yang besar terhadap menanggulangi perubahan iklim.

Namun, bertolak belakang dengan studi tersebut, Richard Teague, seorang ahli ekologi Texas A&M AgriLife Research dan Professor di Departemen Ecosystem Science and Management, Texas A&M Uniersity, menyebutkan jika ternak ruminansia justru berkontribusi dalam menciptakan tanah dan padang rumput yang sehat, serta manajemen penggembalaan yang tepat dapat mengurangi emisi serta jejak karbon pertanian dan industri.

Berdasarkan studi yang telah dilakukannya, rantai pasokan makanan terbukti menghasilkan sejumlah besar gas rumah kaca yang berpotensi merusak lingkungan. Belum lagi permintaan global untuk produksi pangan yang cukup tinggi sehingga sejak agrikultur berbasis tanah dimulai, sebagian besar tanah pertanian telah kehilangan 30-75% karbon organik tanah dan menyebabkan kerusakan pada tanah. Hal ini membuktikan bahwa emisi gas rumah kaca akibat aktivitas pertanian berbeda dan bersifat independen dengan emisi gas methan yang dihasilkan oleh ruminansia. Gas emisi akibat aktivitas pertanian ini akan tetap terproduksi meskipun terjadi penurunan jumlah ruminansia global (Teague, 2016).

Tabel perkiraan sumber gas rumah kaca (Teague et al, 2016)

Berdasarkan tabel di atas, total emisi gas rumah kaca oleh ruminansia mencapai 11,6% dari total emisi antropogenik, Namun, berdasarkan studi yang telah dilakukannya, masalah dari sistem produksi ternak berbasis penggemukan tersebut dapat dihindari dengan pengelolaan ruminansia secara penggembalaan.

Ruminansia yang merumput di padang penggembalaan atau agroekosistem akan memberikan banyak manfaat jika tepat pengelolaannya. Manfaat tersebut mencakup peningkatan infiltrasi air, peningkatan tangkapan air, keanekaragaman hayati yang lebih besar, peningkatan stabilitas dan ketahanan ekosistem, dan peningkatan penyerapan C (karbon) yang semuanya dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, ruminansia domestik dapat memulihkan dan meningkatkan fungsi ekosistem padang rumput. Peningkatan stok C (karbon) dari kotoran sapi di dalam tanah akan meningkatkan populasi mikroba tanah sehingga lebih beragam.

Kombinasi dari sistem rotasi tanaman dengan penggembalaan ternak juga terbukti efektif dalam meningkatkan fungsi dan kesehatan tanah. Produksi tanaman dapat dikelola untuk mempertahankan penutup tanah melalui rotasi campuran hijauan dan tanaman baris, termasuk tanaman penutup, dan kacang-kacangan untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki N (nitrogen). Sementara ternak yang digembalakan dapat mempercepat siklus nutrisi melalui konsumsi dan dekomposisi biomassa sisa di atas permukaan tanah. Pengelolaan penggembalaan dengan sistem ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas hijauan, pemulihan spesies herba, kesuburan tanah, kapasitas menahan air, dan tentunya menghasilkan keuntungan ekonomis bagi peternak.

Hal tersebut sejalan dengan Spratt dkk (2021) dalam sebuah studinya yang menyebutkan metode penggembalaan seperti itu tidak hanya meningkatkan produksi pertanian, namun juga mampu memperbaiki struktur dan biologis tanah. Tanah yang sehat akan meningkatkan kualitas pertanian yang lebih baik lagi serta mampu meningkatkan nutrisi serta kesehatan ternak. Selain itu, dengan sistem penggembalaan yang seperti ini mampu mengurangi produksi gas metana enterik akibat kecernaan hijauan yang lebih tinggi (Thimpson & Rowntree dalam Spratt dkk, 2021).

 

Referensi:

Handriyono, R.E., Sutanto, J.E., Putra, G.R.G. 2019. Studi Beban Emisi Gas Metan (CH4) dari Kegiatan Peternakan di Desa Galengdowo Jombang. Jurnal Pengabdian Masyarakat IPTEKS, 5 (2): 119-123.

Purwanta, W. 2010. Penghitungan Emisi Karbon dari Lima Sektor Pembangunan Berdasar Metode IPCC dengan Verifikasi Faktor Emisi dan Data Aktivitas Lokal. Jurnal Teknik Lingkungan, 11 (1): 71-77.

Spratt, E., Jordan, J., Winsten, J., Huff, P., Schaik, C., Jewett, J.G., Filbert, M., Luhman, J., Meier, E., Paine, L. 2021. Accelerating Regenerative Grazing to Tackle Farm, Environmental, and Society Challenges in the Upper Midwest. Journal of Soil dan Water Conservation, 76 (1): 15A-23A.

Teague, W.R., S. Apfelbaum, R. Lal, U.P. Kreuter, J. Rowntree, C.A. Davies, R. Conser, M. Rasmussen, J. Hatfield, T. Wang, F. Wang, and P. Byck. 2016. The role of ruminants in reducing agriculture’s carbon footprint in North America. Journal of Soil And Water Conservation, 2 (7):156 – 164.

Categories: ArtikelRecent Posts

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.