Pada bulan Agustus 2018 silam, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games XVIII. Salah satu cabang olah raga yang dilombakan adalah equestrian atau pertandingan berkuda. Dengan demikian pemasukan kuda impor dari berbagai negara partisipan perlu dilakukan. Sebelum dilaksanakannya impor kuda, diperlukan data penyakit kuda di Indonesia yang kemudian digunakan untuk menentukan zona bebas terhadap penyakit kuda atau equine disease free zone (EDFZ). Berdasarkan standar internasional, salah satu syarat penetapan status EDFZ yaitu wilayah tersebut harus terbebas dari African Horse Sickness (AHS).
Secara historis, kasus AHS memang belum pernah dilaporkan di Indonesia. Namun, pada bulan Maret 2020 kejadian AHS telah dilaporkan di negara Thailand, tepatnya pada Distrik Pak Chong Provinsi Nakhon Ratchasima yang kemudian menyebar ke daerah lain di Thailand. Sedikitnya 131 ekor kuda di empat provinsi dilaporkan mati akibat penyakit ini. Masuknya penyakit AHS ke Thailand tentu membuat negara-negara di wilayah Asia Tenggara juga berisiko tertular, tak terkecuali Indonesia. Maka dari itu, perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit ini di tanah air. Sebelum menentukan langkah-langkah pencegahan, tentu diperlukan pemahaman mengenai penyakit AHS.
African Horse Sickness (AHS) adalah penyakit arbovirus yang menular dan mematikan pada kuda. Penyakit ini disebabkan oleh virus African Horse Sickness (AHS) yang merupakan family Reoviridae, genus Orbivirus. Berdasarkan uji netralisasi, virus RNA double stranded tidak beramplop ini memiliki sembilan serotipe. Penyakit AHS serotipe 1 hingga 8 lebih banyak ditemukan di Afrika sebagai wilayah endemiknya, sedangkan penyakit AHS serotipe 9 lebih dominan di luar Afrika.
Penyakit AHS merupakan penyakit arthropod borne yang ditularkan oleh vektor nyamuk Culicoides sp, dan dipteral Ceratopogonidae. Virus ini dilaporkan juga pernah diisolasi dari Hyalomma dromedarii yang merupakan caplak unta dan Rhipicephalus sanguinus yang merupakan caplak anjing. Selain itu, nyamuk Culex sp, Anopheles sp, Aedes sp, serta lalat Stomoxys dan Tabanus dilaporkan sebagai vektor potensial.
Keberadaan vektor memang menjadi salah satu penyebab terjadinya penyebaran penyakit AHS. Sehingga, perubahan iklim yang memicu perpindahan dan peningkatan populasi vektor sangat berperan dalam penularan AHS. Lalu lintas kuda positif yang masuk ke daerah bebas AHS juga memungkinkan penyebaran penyakit melalui vektor lokal negara pengimpor kuda.
Selain menyerang kuda, virus AHS juga dapat menginfeksi bangsa Equide lainnya, sepeti keledai, bagal, dan zebra. Namun kuda dinilai lebih sensitif terhadap penyakit ini. Antibodi virus AHS juga dilaporkan terdapat pada hewan karnivora liar, seperti hyena, citah, singa, dan anjing liar Afrika yang diduga memakan daging kuda atau zebra terinfeksi virus AHS.
Gejala klinis yang umumnya muncul akibat penyakit ini, antara lain pembengkakan di sekitar mata dan muka, leleran pada hidung, demam tinggi, napas pendek dan berat, serta batuk. Secara garis besar penyakit ini menimbulkan gangguan pernapasan dan gangguan sirkulasi darah. Gangguan pada sistem pernapasan atau tipe paru-paru biasanya terjadi sangat cepat dan memiliki mortalitas mencapai 95%. Gejala yang ditimbulkan, antara lain demam, depresi, sesak napas, batuk, dan berkeringat.
Pada gangguan sistem sirkulasi darah atau tipe jantung memiliki masa inkubasi yang lebih lama dan umumnya tidak jelas. Gejala klinis yang biasa ditimbulkan, antara lain demam, pembengkakan daerah kepala hingga leher, perdarahan ekhimosis pada lidah, kemerahan akibat perdarahan petekhi sekitar kulit, dan dapat pula terjadi kolik. Tingkat mortalitas penyakit AHS tipe jantung mencapai 50%. Kombinasi gangguan sistem pernapasan dan sistem sirkulasi darah menyebabkan mortalitas yang cukup tinggi dan kematian bisa terjadi 3-6 hari pasca infeksi.
Memiliki gejala klinis yang mirip, penyakit AHS sering dikelirukan dengan penyakit kuda lain, seperti anthraks, hendra, trypanosomosis, piroplasmosis, equine viral arteritis, equine encephalosis, equine infectious anemia, equine viral arteritis, dan purpura haemorrhagica. Konfirmasi penyakit ini dapat dilakukan dengan beberapa metode diagnosis, yaitu identifikasi virus, polymerase chain reaction agar gel immunodifussion test (AGID), uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), uji complement fixation (CF) dan netralisasi serum. Dari beberapa metode pengujian, uji netralisasi serum masih menjadi gold standard dari diagnosa penyakit AHS.
Berdasarkan berlangsungnya Asian Games XVIII tahun 2018, dari semua sampel kuda yang diperiksa oleh BBLitvet menunjukkan bahwa tidak ada satupun sampel yang mengandung antibodi AHS. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih bebas dari penyakit AHS. Mengingat sensitivitas kuda terhadap penyakit ini dan nilai ekonomis kuda pacu yang terbilang tinggi, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian penyakit AHS. Apalagi penyakit mematikan ini memiliki status sebagai penyakit notifable dalam daftar OIE yang strategis di negara dengan populasi kuda cukup banyak, termasuk Indonesia.
Perlu diketahui pula bahwa obat untuk penyakit ini masih belum tersedia. Sedangkan pemberian antibiotik pada kuda terinfeksi dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder. Vaksin AHS memang sudah tersedia, namun vaksin yang beredar masih berupa vaksin hidup atenuasi dan polivalen vaksin.
Penggunaan vaksin hidup memiliki risiko efek samping, karena virus masih mampu bereplikasi pada induk semang yang dapat menimbulkan penyakit. Selain itu, penggunaan vaksin hidup yang telah dilemahkan juga berpotensi menghasilkan transient infection dan meningkatkan virulensi virus AHS yang berisiko menimbulkan wabah baru.
Di samping vaksinasi, pencegahan penyebaran penyakit AHS dapat dilakukan dengan memperhatikan lalu lintas kuda, yaitu menetapkan sistem karantina yang ketat dan memeriksa sertifikat kesehatan kuda yang akan masuk ke Indonesia. Memisahkan hewan sakit dengan hewan sehat juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit.
Ditularkan melalui gigitan vektor, maka pengendalian vektor menjadi aspek penting dalam antisipasi penyakit AHS. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan pembuatan asap di sekitar kandang, pemberian repellent kimia, dan pengandangan kuda saat pagi dan sore hari.
Apabila ditemukan tanda-tanda menyerupai penyakit AHS, maka direkomendasikan untuk segera melapor kepada otoritas veteriner atau unit kerja yang menangani kesehatan hewan pada pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, deteksi dini dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit AHS. Sampai saat ini metode stamping out atau pemusnahan secara menyeluruh masih menjadi cara pengendalian terbaik untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit AHS.
0 Comments