Pada 28 Maret 2020, Biro Litbang HSTP FKH UGM, bersama dengan Divisi Unggas HSTP FKH UGM telah melaksanakan kegiatan HSTP SHARING untuk pertama kalinya. Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan dan menumbuhkan pemikiran kritis pengurus, anggota, dan alumni HSTP. Kegiatan ini diikuti oleh 45 peserta yang berasal dari pengurus, anggota, dan alumni HSTP FKH UGM. Dikarenakan kebijakan PSBB, kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform cisco webex meeting. Link untuk mengikuti kegiatan telah dibagikan di grup masing-masing biro dan divisi serta grup besar HSTP FKH UGM.

Rangkaian kegiatan dimulai dengan pembukaan, pemaparan materi, kajian, pembacaan notulensi, presensi dan penutupan. Biro Litbang bertugas memandu kegiatan, yang diwakili oleh Wening Yuniarti, serta memandu kajian, yang diwakili oleh Debi Ria. Pemaparan materi dilakukan oleh Divisi Unggas, yang diwakili oleh Gregorius Tunggal dan Rosalia Greta. Notulensi kegiatan dan kajian juga dilakukan oleh Divisi Unggas, yang diwakili oleh Hana Afni dan Maria Putri.

HSTP SHARING perdana mengangkat tema LARANGAN PEMASARAN TELUR INFERTIL ATAU HE (HATCHED EGG), yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32/Permentan/PK.230/2017 pasal 13 ayat (4). Pasal tersebut berisi tentang pelarangan memperjualbelikan telur HE sebagai telur konsumsi. Dalam pemaparan materi oleh Divisi Unggas juga disertakan sebuah artikel berita mengenai ditemukannya praktek jualbeli telur HE di pasaran. Lebih lanjut, dalam materi disampaikan mengenai pengertian telur infertil, perbedaan telur infertil dengan telur fertil maupun telur konsumsi komersial, serta latar belakang diperjualbelikannya telur infertil.

Menyikapi Permentan yang telah disebutkan di atas, dijelaskan juga mengenai pelarangan memperjualbelikan telur HE dan alternatif pemanfaatan telur HE yang dapat dilakukan oleh produsen telur HE maupun masyarakat.

Kemudian, dari pemaparan tersebut didapatkan lima poin isu yang akan dikaji pada sesi kajian. Lima poin isu tersebut adalah,

  1. Faktor penyebab dijualnya telur infertil/HE serta dampak jangka pendek dan jangka panjang beredarnya telur infertil di pasaran?
  2. Pemanfaatan yang benar: Anjuran cutting HE oleh pemerintah?
  3. Bagaimana implementasi Permentan Nomor 32/Permentan/PK.230/2017 agar tercapai tujuan yang diharapakan?
  4. Manajemen peternakan seperti apa yang mampu menekan dihasilkannya telur infertil?
  5. Peran mahasiswa kedokteran hewan dalam masyarakat terkait distribusi telur infertil?

Dari kelima poin isu yang dibahas pada sesi kajian tersebut, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut,

  1. Faktor penyebab dijualnya telur HE dikarenakan tingginya biaya pemeliharaan ayam yang berdampak pada rendahnya permintaan DOC sebagai output telur tetas. Perusahaan pembibitan tidak dapat menetaskan telur karena kurangnya modal, dan akhirnya telur infertil dijual sebagai telur konsumsi untuk tetap mencapai keuntungan. Hal ini diperparah dengan adanya pandemi. Kurangnya wawasan masyarakat mengenai telur infertil serta rendahnya daya beli masyarakat juga menyebabkan masih adanya peminat telur infertil, sehingga bisnis ini dapat berjalan. Dampaknya berimbas pada harga telur konsumsi komersial yang tercatat turun hingga Rp10.500/kg atau menyentuh setengah dari harga normal. Pasaran telur konsumsi komersial terganggu yang nantinya dapat merugikan produsen telur konsumsi komersial maupun konsumen, karena telur infertil lebih cepat membusuk
  2. Sejauh ini, pemusnahan/cutting telur HE merupakan tindakan yang paling efektif untuk mencegah beredarnya telur HE di pasaran. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah untuk konsumsi pribadi, maupun dibagikan ke masyarakat yang lebih membutuhkan tanpa memperjualbelikannya.
  3. Perlunya sosialisasi melalui berbagai macam media mengenai peraturan tersebut kepada masyarakat. Sebaiknya, Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan untuk melakukan inspeksi ke pasar maupun toko daring sebagai aksi nyata dari peraturan tersebut. Penegakan sanksi juga diperlukan agar peraturan tersebut tidak mudah dilanggar.
  4. Mengurangi faktor-faktor yang dapat menghasilkan telur infertil sehingga produksinya menurun. Dapat dilakukan dengan penyesuaian pakan maupun pencegahan perkawinan ayam jantan dan betina. Di satu sisi, diperlukan perbaikan sistem distribusi DOC dan karkas ayam, sehingga distribusi lancar dan jumlah telur HE tidak berlebihan.
  5. Mahasiswa kedokteran hewan dapat mengedukasi masyarakat sekitar tentang adanya telur HE dan larangan perjualbelian telur HE tersebut, serta mendukung pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pelarangan memperjualbelikan telur HE dan anjuran cutting telur HE.

Mei 2020

Biro Litbang dan Divisi Unggas

HSTP FKH UGM


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.